Ajakan itu dikatakan LaNyalla saat memberi sambutan dalam Penutupan Kongres X Gerakan Pemuda Marhaenis di The Soekarno Center, Istana Mancawarna, Tampaksiring, Gianyar, Bali, Jumat (5/11/2021) malam.
“Pancasila adalah way of life yang paling tepat dan sesuai dengan DNA asli bangsa Indonesia. Diber bagai kesempatan sering saya katakan, jika Pancasila kita terapkan dengan benar dan konsekuen, maka negara ini akan menjadi negara yang besar,” katanya
Senator asal Jawa Timur ini menambahkan, jika warga bangsa ini melaksanakan Sila Pertama dengan konsekuen, akan lahir kualitas manusia yang berketuhanan. Sehingga pribadi-pribadi tersebut tidak mungkin melanggar larangan Tuhan.
“Misalnya saya sebagai muslim, maka jika saya taat beribadah, saya mendirikan sholat dengan benar, pasti saya akan menjauhi atau terhindar dari perbuatan keji dan buruk. Tentu saya sudah seharusnya tidak korupsi dan sejenisnya,” katanya.
Dilanjutkan LaNyalla, dengan kepribadian yang baik, taat agama, Indonesia akan memiliki manusia-manusia yang beradab, mempunyai pemahaman yang jernih dan akal sehat.
Inilah yang kemudian merujuk kepada sila kedua Pancasila, karena dengan pikiran jernih, manusia akan menjadi adil sejak dalam pikirannya. Sehingga adil pula terhadap kemanusiaan.
“Kemudian jika Indonesia berisi mayoritas manusia yang taat beragama, adil dalam pikiran dan per buatan serta beradab, maka Persatuan Indonesia dengan mudah terjadi tanpa paksaan atau tekanan apapun. Inilah Sila Ketiga dari Pancasila,” paparnya.
Manusia-manusia baik yang bersatu tersebut lantas bermusyawarah untuk memilih para hikmat. Untuk memilih tokoh-tokoh terbaik bangsa yang bijaksana, untuk kemudian menjadi wakil mereka dalam menjalankan tugas kenegaraan di Parlemen dan Pemerintahan.
"Itulah Sila Keempat dari Pancasila. Pada akhirnya, karena wakil-wakil rakyat dan mereka yang diberi amanat untuk menjalankan pemerintahan berasal dari tokoh-tokoh hikmat dan bijaksana, tujuan hakiki dari lahirnya bangsa ini, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang merupakan Sila terakhir dari Pancasila, niscaya akan terwujud,” paparnya.
Namun, sambung LaNyalla, nilai-nilai dari Pancasila semakin ditinggalkan. Bahkan, sudah tidak nyambung lagi dengan Pasal-Pasal yang ada di dalam Undang-Undang 3 Dasar, yang telah mengalami 4 kali perubahan di tahun 1999 hingga 2002 lalu.
“Kebhinekaan hanya diwujudkan dengan keberagaman yang semu, melalui acara-acara seremonial. Ke mudian kita yang menyebut Negara Kesatuan, ternyata penuh dengan ketimpangan antar wilayah. Ini fakta yang tidak bisa dibantah. Termasuk sistem ekonomi yakni Ekonomi Pancasila dengan Azas Ke keluargaan dan Gotong Royong melalui Soko Guru Koperasi, telah berubah menjadi ekonomi Liberal Kapitalis,” lanjutnya.
Kini, Pancasila ibarat raga tanpa jiwa. Karena hanya dibacakan saja di upacara dan peringatan hari kelahiran Pancasila, tanpa dibumikan. Apalagi, jika mencermati isi Amandemen Konstitusi 1 sampai 4, sudah banyak pasal diubah yang nyaris tidak nyambung lagi dengan nilai-nilai dan butir-butir Pancasila sebagai nilai luhur bangsa.
“Inilah situasi yang disebut oleh sebagian kalangan, bahwa mahasiswa yang menjadi penggerak Reformasi 1998, tidak menyadari, bahwa perubahan konstitusi empat tahap telah kebablasan dan sarat dengan muatan kepentingan para penumpang gelap. Inilah yang menyebabkan tujuan lahirnya negara ini untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia semakin jauh dari harapan,” tegasnya.
Melihat fakta itu, LaNyalla menambahkan, DPD RI memperjuangkan adanya Amandemen perubahan ke-5. Agar arah perjalanan bangsa bisa dikoreksi. Sehingga Indonesia menjadi lebih baik dari sistem tata negara maupun sistem ekonominya.
“DPD RI akan sekuat tenaga memperjuangkan hal itu. Supaya Indonesia lebih berdaulat dan berdikari serta mampu mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, seperti cita-cita Bung Karno dan para pendiri bangsa,” tuturnya.
Dalam kunjungan kerja ke Bali, LaNyalla didampingi sejumlah Senator di antaranya I Gusti Arya Wedakarna, Bambang Santoso dan Anak Agung Gde Agung (Bali), Bustami Zainuddin dan Ahmad Bastian (Lampung), Fachrul Razi (Aceh), Andi Muh Ihsan (Sulsel), Erlinawati (Kalbar), Habib Abdurrahman Bahasyim (Kalsel), Andi Nirwana (Sultra), Ahmad Kanedi (Bengkulu), Muhammad Rakhman (Kalteng), Angelius Wake Kako dan Asyera Wundalero (NTT), Stefi Pasimanjeku (Malut), Habib Ali Alwi dan M TB Ali Ridho (Banten).