Sepeda Seken Ayah dan Liburanku

Q Beritakan - Liburan panjang adalah saat-saat yang ditunggu-tunggu dan begitu bahagianya rasa hati, rehat sejenak dari rutinitas kampus sebagai mahasiswa yang berangkat dari kampung menuju kota tempat menimpa ilmu demi tercapainya sebuah cita-cita dan terkabulkan impian yang selalu bergelantung dipikiran sebelum lelapnya tidur.


Sebenarnya tidaklah begitu banyak kegiatan yang kulakukan selama liburan dikampung. Sesekali melihat kebun orang tua yang ada dibelakang rumah, setelah bosan kemudian pergi kekebun tetangga yang lagi mengarap tanah untuk ditanami sayuran nantinya. Kemudian berkumpul dengan sahabat-sahabat lama semasa sekolah dulu baik dari SD, SLTP maupun SMU. Pada liburan akhir semester kali ini pun kembali pulang kampung, berkumpul dengan keluarga, ayah dan ibu, saudara, sahabat, dan tetangga juga. Hal wajib dan tidak boleh tertinggalkan adalah mengantar kedua orang tua cek up kesehatannya ke dokter langganan, ya... kedua orang tua tidaklah muda lagi. Badannya mulai ringkih dimakan usia dan sakit-sakitan. Terkadang sifat kekanak-kanakannya muncul minta diperhatikan, mungkin kangen jarang ketemu selamaku menuntut ilmu dinegeri orang sehingga mereka ingin dikasih perhatian lebih dan disayangi ketika saya pulang kampung.


Sebagai anak yang ingin juga berbakti kepada kedua orang tua dengan ikhlas menuruti apa maunya, tidak dipungkiri juga terkadang ada rasa jengkel. Namun masih bisa mengontrol diri. Takut kualat saya, dosa-dosa yang lalu belum tentu terampuni. Hari itu kedua orang tua minta diantarkan lagi kedokter langganan mereka. Berangkatlah, sepanjang perjalanan diam-diam diperhatikan raut wajah ayah yang duduk didepan tepat disampingku, sementara ibuku mengalah duduk dibelakang. Asalkan suami tercintanya bahagia kali ya. Pastinya Enggan rebutan tempat duduk dengan ayah, Hahaha. Kulihat wajah ayah terlihat begitu cerah dan berseri. Sempat berpikir ini ayah sakit apa sih? Pas mau berangkat mengerang-mengerang menahan sakit. Sekarang kok tidak seperti orang sakit ya. Pintar menyembnyikan sakitnya atau apa. Weleh...? Oooo...?


Aku mencoba menerka-nerka dalam pikiranku, ini ayah sebenarnya ingin di ajak jalan-jalan sore sepertinya. Mungkin beliau bosan dan suntuk dirumah. Cuma enggan menyampaikan langsung, mungkin tidak ingin menyusahkan juga kali ya. Aku pun senyum kecil melihat beliau dan berkata dalam hati " jika benar apa yang kupikirkan, boleh juga ini trik si ayah" Hihihi. Tidak, ayah benar-benar sakit. Ini hanya pikiran nyeleneh aku saja. Kemudian sampailah ke tempat dokter langganan yang dituju. Langsung cek up, entah apa pembicaraannya dengan dokter saya tidak tau pasti karena sibuk dengan hape ditangan bercanda ria melalui beberapa akun sosial dengan kawan yang jauh disana lewat komentar postingan status dan chatingan. Kebetulan kawan-kawanku mempunyai selera humor yang tinggi, cukup menghibur. Merasa beruntung tuhan telah mengirimkan sahabat yang baik. Akunya yang tidak baik, sering usil. Bahkan candaanku kadang kalanya diluar batas, tapi syukur alhamdulillah mereka tidak marah dan tersinggung dengan ulahku yang boleh dikatakan tengil. Mereka cukup memahami dan mengerti aku memang begitu orangnya.


Bila usilku kambuh, beberapa dosen dikampusku pun menjadi korban keusilan dan ulah tengilku. Ya, yang namanya dosen tentu tidak mempermasalahkan ulahku selagi masih dibatas kewajaran. Palingan berkata "biasalah mahasiswa perantau yang jauh dari orang tua. Jadi wajarlah cari perhatian, satu-satunya ya kitalah sebagai pelampiasan kerinduan kasih sayang dari orang tuanya yang jauh disana." Ya, ada benarnya. Betapa beruntung juga aku kenal dengan beberapa dosen yang bisa mengerti dan memahami keadaanku. Terima kasih dosen-dosenku... Guyonan-guyonan yang mengocok perut jadi tawa sehingga tidak begitu memperhatikan ayah dan ibu yang lagi diruangan praktek dokter tersebut.


Tiba-tiba ayahku keluar duluan yang kemudian disusul oleh ibuku dibelakangnya. Sang ayah pun menegurku "Ayok pulang, udah selesai...!" "Ya Ayah, ayok...." ikut berjalan di tengah-tengah mereka. Karena kwatir ini sang ayah jalannya sudah pake tongkat. Meski udah pake tongkat dan jalan tergopoh-gopoh hati masih kuat dan keras, dibimbing menuju mobil tidaklah mau. Jaga gengsi mungkin, hehehe. Saya pun tidak memaksakan diri untuk membingnya, dibiarkan beliau berjalan sendiri tetap disampingnya. Ini si ayah, celoteh sana sini selama menuju parkiran. Saya pun iya-iyakan saja, entah apa yang diceritakan dan kemana arahnya saya sendiri tidak begitu paham dan mengerti.


Sesampainya dimobil, sang ayah masih tetap bercerita sambil berjalan tergopoh-gopoh pakai tongkatnya. Aku pun meninggalkan sang ayah didepan mobil dengan niat hati membukakan pintu bagian depan sebelah kiri. Nah, kejadian yang di luar dugaan terjadi yang membuat saya tertawa ngakak! Tidak pantas sebenarnya, tapi itulah kenyataannya. Maaf Ayah. Pintu udah terbuka sang ayah tidak ada disamping saya, saya pun memutarkan kepala mencari dimana ayahku tadi. Masyaallah! Kulihat sang ayah ternyata berada dipintu depan samping kanan bagian setir! Ternyata waktu membuka pintu sebelah kiri tadi sang ayah tidak mengikuti saya, beliau malah ambil jurusan sendiri. Tapi salah! Hahaahahha! Saya pun menegur sang ayah sambil tertawa " Yah...ayah penumpang apa supir? Pintu sebelah kanan untuk supir, pintu sebelah kiri untuk penumpang yah... Hihihiks" tertawa cekikikan. Sang ayah pun tersadar dan ikut tertawa lucu "Hehehe...lupa dan kilaf saya...!" sembari berjalan kembali menuju pintu sebelah kiri.


Keesokan harinya, mau mengganti kaca film mobil yang sudah mulai tergores dan sebagian kecil mengelupas. Pas mau berangkat sang ayah ternyata ada diruang tengah lagi nonton siaran disalah satu cannel tv swasta. Beliau bertanya "Mau kemana kamu?" "Mau ganti kaca film mobil yah..." Jawabku "Ooo... saya kira mau ngisi minyak mobil, saya mau ikut. Sekalian mau beli sepeda seken...!" Tegas dan berwibawa. "Hmmm... kalau ayah mau ikut ayoklah, tapi kita harus nunggu ditempat variasi nanti. Atau saya antarkan ayah dulu mencari sepedanya, setelah dapat ayah diantarkan lagi pulang..." Kataku. Sepeda seken? Ya, sepeda seken. Ini sebenarnya suatu masalah buat sang ayah. Sudah lama keinginannya mau membeli sepeda tersebut. Kami dirumah menganjurkan beli saja yang baru, biar puas. Kalau yang seken dibeli nanti cepat rusak, ayah juga yang repot toh? Ayah ngotot tetap mau membeli yang seken! Sudah karakter beliau dari dulu yang masih berlaku sampai sekarang. Ketika ingin sesuatu dihatinya sulit ditawar dan dikasih masukan. Ya, sudahlah. Ikutin saja, yang namanya juga orang tua harus diikutin keinginannya. Takut kualat.


Selang beberapa waktu kemudian kakaku pun keluar dari kamarnya "Ya sudah, jika ayah mau cari sepeda sekarang tidak apa-apa. Lain hari saja ganti kaca filmnya. Silahkan ayah ikut, pergi isi minyak mobil dulu, nanti pulangnya mampir ditoko sepeda seken itu" kata kakaku memberikan uang untuk mengisi minyak mobil sambil kedipkan mata kearahku. Aku tanggap segera, maksud toko sepeda seken itu adalah Toko Sepeda Baru, yang mana pulang dari SPBU toko sepeda baru yang duluan dilewati. Terpaksa main wataklah kita-kita untuk meluluhkan hati keras ayah. Hihihi Kemudian aku dan ayah pun pergi mengisi minyak mobil di SPBU satu-satunya yang ada dikampungku, berjarak lebih kurang 20 km. Setelah minyak mobil terisi kami pun kembali menuju pulang. Kemudian berhenti, namun ayah protes! "Loh...loh...? Kok berhenti di apotik sih? Saya mau beli sepeda bukan obat...!" Weleh? saya salah parkir, bukannya berhenti di toko sepeda seken. Padahal itu akal-akalan saya saja salah parkir. Karena tidak berapa jauh dari apotik tersebut ada toko sepeda baru, bukan toko sepeda seken! Hahhaha, maafkan anakmu ayah. "Oh...iya...iya...?!?" Jawabku sambil pasang raut wajah bingung rada-rada lupa. "Wah! Itu didepan ada toko sepeda ayah... kita lihat dulu kesana ya, mana tau ada sepeda sekennya...!" Suara dilembutkan tapi semangat. "Itu mah toko sepeda baru...! Mana ada yang seken disitu!" Jawaban ayah sedikit ketus dengan wajah cemberut sambil mutar-mutar tongkat ditangan yang selalu dibawanya kemana pergi. "Busyet dahhhhh... berabe ini urusan, sepertinya ayah mulai curiga bahwa itu akal-akalan saya saja.


Bisa-bisa diketok neh kepala saya pake tongkat kesayangan" saya berkata dalam hati. Kembali putar otak, gimana caranya ayah tidak gusar dan emosinya memuncak. Parah sang ayah jika udah emosi, kebawa terus sampai rumah nantinya. Sampai dirumah akan celoteh sampai esok pagi dan akan demam biasanya. Duh... Ayahku... Dengan sedikit pasang wajah manis dan sok keren saya kembali berkata sama ayah. "Kan kita cuma lihat saja ayah, kalau ada yang seken dan ayah suka kita beli. Kalau tidak ada ya gak beli kita..." "Hmm....iyalah, terserah mana bagus kamu aja..." Horeeeee! Ayah manut. Gak tau juga dalam hatinya merutuk. Uzon saya. Aku pun kembali menjalankan mobil menuju toko sepeda baru tersebut. Bisa jalan sih dari apotik tempatku parkirin mobil, cuma berada diseberang jalan. Kasihan sang ayah akan jalan tergopoh-gopoh pakai tongkat kesayangan. Dibimbing jangan harap mau ayahnya. Pernah juga saya bimbing dulunya, tangan saya ditepisnya "Gak usah dibimbing-bimbing saya. Masih bisa dan kuat jalan..." Kata penolakannya. Sampai ditoko sepeda baru tersebut aku bukakan pintu mobil dan mepersilahkan ayah untuk segera turun melihat sepeda. Gak semangat terlihat... Kemudian aku pun memanggil pemilik toko, dan menanyakan harga beberapa tipe sepeda tersebut, karena lain tipe lain harga. Ayah pun kubiarkan dengan leluasa melihat-lihat, berharap salah satu sepeda ada yang disukai ayah.


Saya pun pura-pura sibuk sendiri nanya ini dan itu kepada pemilik toko sambil mataku sesekali melirik dan memperhatikan kemana arah mata ayah melihat beberapa sepeda tersebut. "Kalau yang ini berapa nak..."? Tiba-tiba ayah menunjuk salah satu sepeda berwarna merah. Wah! Ayah mulai tertarik neh dengan sepeda seken, eh sepeda baru. Mata saya pun tertuju kearah sepeda yang ditunjuk ayah, memang tampak bagus sekali dengan warna ngejreng. Jiwa muda ayah kembali bergelora sepertinya. Ayah memang penyuka warnah merah dari dulu, motornya dulu juga berwarna merah, helm warna merah, jaket pun warna merah, maching broh! Hanya sepatu kulit dan kaca mata yang berwarna hitam. Semuanya dipakai lengkap jika mau bepergian jauh dengan motor HONDA CB 100 merah kesayangannya.


Pada masa itu hanya beliau satu-satunya yang baru punya motor dikampung kecilku. Sudah keren dan mantap tarik jabriklah. Ayah memang suka rapi dan stylenya modis sesuai dengan zamannya, beliau begitu terlihat macho dan keren bila di atas motor. Tiap sore aku pun merengek setelah mandi dan berpakaian rapi minta dibawa jalan-jalan. Padahal ayah masih capek pulang dari kebun atau sawah, yang namanya orang tua sayang anak tetap memenuhi keinginanku. Ditambah lagi aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ada empat sebenarnya, diatas aku nomor tiga telah kembali pulang di ambil sang Khalik waktu usia 7 tahun. Karena merasa bungsu ini salah satu penyebab aku sedikit manja dan usil, suka mencari perhatian dirumah agar disayangi. Nakal jangan ditanya, gak ketulungan! Keras kepala juga! Bila ada keinginanku tidak terpenuhi akan menangis meraung-meraung sambil menghempaskan barang-barang terdekat. Tempramental juga supertinya. Setelah lelah akan tertidur sendiri ditempat aku meraung-meraung tadi. Kemudian ketika terbangun aku sudah berada dikamar, di angkat ayah.


Betapa mulianya hati seorang ayah. Satu yang tidak pernah terlupakan waktu kecil dulu ketika coba-coba mengambil uang ayah lima ribu rupiah dari kantong celananya untuk membeli ice crem potong, Es unyil namanya. Es ini memang bergambarkan siUnyil dibagian plastiknya. Aku udah ngiler membayangkan betapa nikmatnya merasakan segarnya ice cream dihari yang lumayan panas, kemudian teriak-teriak memanggil ibuku mau minta uang untuk membeli es unyil segara. Sayangng ibuku tidak ada kelihatan, lagi dirumah tetangga. Aku pun nekat masuk kamar, lalu merogah kantong celana ayah. Alhamdulillah... dapet! Kulihat ada beberapa lembaran mata uang kertas aku tarik satu. Aku berlari mengejar penjual es unyil "Bang...! beli Es bg...!" Teriakku terengah. Sipenjual espun berhenti, "Berapa potong dek???" Tanya si abang. "Sehabis uang bang!" Jawabku seadanya. "Yakin? Ntar dimarahin ibumu loh, kebanyakan makan Es gak baik untuk kesehatanmu dek...!" Siabang terlihat kuatir, baik ini si abang tidak hanya memikirkan dagangannya laris manis saja. Tapi, juga mengingatku agar tidak terlalu banyak memakan ice cream dagangannya. "Kasih aja bang...! Ibu saya tidak ada dirumah kok...!" Ngotot hentak-hentakkan kaki ketanah. "Iya...ya, tapi nanti jika dimarahin ibumu jangan salahkan saya ya...!" Kata siabang. Kemudaian 5 batang es potong diambil siabang dari kotak pendingin. Saya kaget! Banyak amat ini es? Ternyata harga sebatangnya es potong hanya seribu rupiah! Hahhaha! Sempat bingung dan mikir, ini benar kata si abang tadi jika ibuku tahu membeli es sebanyak ini pasti dimarahin.


Aha! Saya dapat ide, kebetulan ada beberapa anak-anak yang usianya lebih tua dari ku sedang main bola meski hari panas dan terik mereka tetap bermain. Aku pun hampiri mereka. Kemudian memberikan es potong tersebut kepada mereka, dalam hitungan menit 4 batang es potong ludes! Es bagianku masih tinggal separo lagi, udah kelenger makan sendiri sampai bersandawa. Rakus! Hihihi Setelah es tesebut abis kumakan, tiba-tiba terdengar suara ayah memanggilku, entah kapan pulangnya dari kebun aku tidak tau.


Jantungku mau copot, muka pucat pasi, ingat sudah mengambil uangnya beberapa waktu lalu. Coba berani dan meyakinkan diri untuk mengahampiri ayah seakan-seakan tidak ada masalah. Jantung tetap berdebar-debar! "Iya ayah...tunggu sebentar...!" tarik nafas dalam-dalam mengumpulkan keberanian. "Ayo cepat sini, mau uang jajan kamu gak...!" Suara ayah terdengar dari kejauhan. Kupingku langsung berdiri ketika mendengar uang, rasa yang ditakuti tadi lenyap seketika. "Iya ayah! Maaaaauuuuuuu!!!" Teriakku kencang sambil menghampiri ayah. "Sini...!" Kata ayah sambil tersenyum dan merogoh kantong celananya. "Asyek! Dapat uang jajan lagi" teriakku dalam hati begitu senangnya.


Kesalahan mengambil uang ayah tanpa sepengetahuan tadi benar-benar terlupakan! Namun, tiba-tiba tangan ayah bergerak secepat kilat menuju kupingku! Dijewer! Lalu ayah berkata "Kamu yang mengambil uang ayah tadi ya, ayo ngaku!" Senyumnya tetap, cuma tatapan matanya tajam penuh selidik mematikan! "Buk...bbb...bbbkk...!" Aku gelagapan mau ngeles dan ingin mengatakan bukan aku pelakunya. Namun ayah tidak bisa kutipu, jewerannya semangkin kencang dan terasa panas ditelingaku. "Hmmm...! Kalau bukan kamu siapa lagi. Cuma kamu yang ada dirumah tadi. Abangmu belum pulang dari sekolah. Ayo! Ngaku tidak kamu?" Ayah terbaca jalan pikiranku, tuduhan akan beralih kepada abangku. Curang dan licik! Padahal abangku sekolah masuk siang, pulannya sore. Suara dan jeweran ayah semangkin keras dan kencang.


Wajahku makin memucat, tubuh gemeteran tidak terkendali. Aku udah gak kuat nahan mau nangis! "I...i...i...iya...aaa...ayah... ampuuuun..." Jawabku, tangis pun pecah, tapi kali ini tidak meraung-meraung. Cecegukan wajah tertekuk malu. "Besok jangan coba-coba ngambil uang tanpa meminta dulu ke ayah ya! Kali ini ayah ampuni kamu. Trus kamu beli apa uang tadi?" Jeweran ayah sudah lepas dan suaranya sudah mulai lembut. "Saya belikan es unyil semuannya ayah, trus sebagiannya dikasih sama kawan-kawanku..." Jawabku disela cecegukan. "Tidak bohong kamu? Tidak dimakan sendiri esnyakan?" Ayah kembali bertanya. "Tidak ayah...!" Itu sepenggal masa kecilku dengan ayah, saat ini aku yang gantian wajib dan harus menyayangi ayah yang tidak lagi muda dan setegap puluhan tahun silam. (Garis bawahi : Tidak pake dijewer juga ayahku bro, kualat lu ntar).


Kembali kemasalah membeli sepeda tadi, ayah benar-benar sudah tertarik dengan sepeda berwarna merah itu. Harga ayah pun sudah tidak mempermasalahkan, memang harganya tidaklah terlalu mahal. Namun, si pemilik toko sepeda mengtakan "Kalau yang ini tidak bisa bapak beli, bukan saya tidak mau menjualnya. Cuma, lobang tempat memasang sadel tidak ada dratnya sebalah pak. Otomatis sadel tidak bisa dipasang pak... ini mau saya tukarkan kembali ketoko tempat saya membelinya...!" Saya anjurkan yang lain ayah tidak mau. Saya pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mungkin ini memang dampak dari coba-coba mau mengecoh ayah agar tidak jadi membeli sepeda seken. Ya, kena kualat juga sih. Ayah tetap benar.


Kami pun kembali masuk kemobil dan pulang, ternyata ayah masih kuat keinginannya untuk membeli sepeda seken. Pas lewat didepan penjual sepeda seken, aku pelankan laju mobil. Wajah ayah terlihat murung, karena tempat itu tutup. Aku malah berbinar-binar senang. 1-1 lah Aku vs Ayah siang ini. Perjalanan menuju pulang pun dilanjutkan, iseng aku bertanya kepada ayah. "Untuk apa sih ayah pakai acara beli sepeda segala, memangnya ayah mau kemana? Kan kalau mau apa bisa kita antarkan atau dicarikan keperluan ayah.


Lagian jalanpun ayah udah payah sekarang..." hati-hati juga mengucapkan kalimat yang terakhir, takut ayah tersinggung dan merasa diremehkan. "Saya beli sepeda untuk kekebun rambutan yang ada dibelakang rumah kita, dan sebagai pengganti tongkat saya berjalan...!" Terlihat dingin dan serius tidak lagi sedang bercanda. Jawaban itu justru yang membuat aku ingin tertawa seketika. Jadi selama ini ayah ngotot mau membeli sepeda hanya untuk dijadikan pengganti tongkat, digiring maksudnya tanpa duduk diatas sepeda dan mengayuhnya. Kekebun rambutan lagi. Ooaaalahhh...! Mobil pun terus melaju melewati jalanan, satu demi satu tikungan telah terlewati. Selama perjalanan itu, aku mikir dan berkata dalam hati "Alasan ayah sebenarnya masuk akal semua, pertama ngotot mau membeli sepeda seken karena fungsinya hanya untuk digiring sebagai pengganti tongkatnya, kedua harganya lebih murah dari pada sepeda baru, sisa uangnya bisa dipergunakan untuk keperluannya yang lain..." *Namun, itulah kita. Terlalu egois tanpa mau memahami maksud dan tujuan orang lain meski pun itu orang tua sendiri. Sesungguhnya kita hanya mengikuti keingin kita sendiri meski tujuan itu dengan niat yang baik, tapi belum tentu baik untuk orang lain dan sesuai keinginannya...


By: Abhenk Gokil ( 26-01-2016. 13.21)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama