PRO KONTRA, UJUNGNYA LUPA DIRI ?


Q beritakan. Oleh_Bernando Sinaga. Sampai di Tuapeijat, saya tertarik dengan dua isu yang mulai rame waktu itu yaitu : menghormati yang tidak puasa dan walikota yg mengancam orang tua nya untuk mendidik anak sendiri karena gonjang-ganjing soal HAM.
Bayangkan, 70 tahun lebih sudah kita merdeka, 700 tahun lebih kita berbhinneka, masiiiiih juga repot dalam urusan beginian.
Ada yang mengatakan, ada desain melemahkan Islam, sedemikian pula ada yang mengatakan ada desain menghancurkan pendidikan dengan melemahkan kedaulatan pengajar.
Saya heran, kok segitu kali kita, berpikir pun harus dalam bayang-bayang konspirasi, yang belum tentu ada, karena namanya juga konspirasi.

Yang puasa menghormati yang tidak puasa. Apa anehnya? Apakah dengan begitu berarti yang tak puasa tak harus menghormati yang puasa? Bagaimana yang puasa senin kamis di luar bulan ramadhan? Atau para muslimah yang mengganti puasanya yang bolong di bulan Ramadhan, misalnya? Apa mereka harus bilang kemana-kemana kalo mereka puasa? Cobalah begitu, kalo tak dituding sebagai ria.

Tapi pointnya bukan di situ. Tapi sudah sejatinya kita anak2 Nusantara untuk saling menghormati. Bukan karena diminta atau dipaksa, tapi memang kita maunya saling hormat-menghormati. Titik.


Soal guru nampar murid misalnya, kok jadi takut sama HAM? Sejak saya SMA sudah belajar soal DUHAM. Tanya Pak Junaidi Drs guru saya, kalo tak percaya. Sekalipun cuma pokok2 dan prinsipnya, minimal pasti diperdalamlah oleh (terutama) guru2 muda masa kini dalam proses kuliahnya dulu sehingga kemudian menjadi guru. Ndak ada salahnya malah sebaiknya harus, menurut saya, kalo guru2 terutama guru muda yang tentunya lebih dinamis dibanding seniornya untuk menguasai soal HAM, sejarahnya, ratifikasinya oleh Indonesia, dan UU serta instrument pengatur lainnya yang berlaku. Lagi pula, kalo ngomong soal pendidikan formal, saya kira kita sepakat, kiblat historisnya pasti Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara tak sekedar meninggalkan petuah, tapi juga laboratorium. Yaitu Perguruan Taman Siswa saat ini. Ada sistem ngemong di dalamnya sehinga pengajar dipanggil sebagai pamong. Ngemong itu mengajar dengan penuh kasih sayang. Jadi, ada ndak ada formalisasi HAM, tetap yang namanya kekerasan fisik harus dinomor-sekiankan.Anak2 sekolahan sekarang sudah pegang gadget lho, kalo mereka yang labil itu tahu masuk dalam pembahasan publik dalan pro-kontra posisi mereka di sekolah, wah bisa ngelunjak.
Makanya saya pikir ndak usahlah guru2 mengutamakan curhat tentang itu di medsos. Dan orang tua, jangan buru2 naik pitamlah. Sayang anak sih monggo, tapi kalo membuat anakmu ngelunjak, yang stress berikutnya ya orang tua.
Jadi, ya mbok sama2lah, memulai proses pendidikan anak dengan saling percaya.
Demikian juga dalam hal ibadah, ndak usah pake2 tangan negara lah, saya yakin kasih sayang yang tulus dan kuat dari pemuka agama, akan mampu membimbing umat untuk hidup rukun, tentram, lohjinawi. Atau negara juga, jangan pake wajah agamalah untuk berkuasa, tapi sejahterakanlah rakyatnya. Orang jualan, kok dirampas dagangannya... emang jualan shabu?
Intinya, ndak usah ribut-ribut lah untuk urusan remeh-temeh yang buat kita makin bingung. Anak nusantara saya pikir paling bisa berdampingan dengan penuh kasih dalam tumbuh bersama. 8 abad yang lalu terbukti kok kehebatan kita di dunia.
Ya wis, besok2 disambung lagi. Tetap semangat menggali kearifan leluhur, kalo ribut terus, kapan kita berkoperasi? Masak koperasi dari luar saja yang bisa mengambil emas dan minyak dari tanah kita???
Mumpung ini bulan Pancasila, hunting dan buka lagi buku2 tentangnya. Apalagi guru2 muda, potensi besar lho untuk jadi penggerak di kampung2.


Salam bahagia...

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama