DARE TO BE DIFFERENT


Seringkali kita terjebak mengikuti arus hanya karena tak ingin terlihat berbeda atau takut sendirian. Tanpa perduli arus itu baik atau buruk, tepat atau tidak dan benar atau salah. Pokoknya mah ikut yang rame aja. Begitulah kira-kira.

Contohnya nih, pernah suatu ketika sedang lari lintas alam, hanya karena tidak ingin terpisah dari rombongan atau malas mencari jalan sendiri jadinya para pelari ikut yang ramai saja padahal itu rombongan salah jalan dan akhirnya nyasar ramai-ramai dan berakhir dengan pulang saat sudah gelap. 
Andai waktu itu ada yang mau mengambil jalan berbeda, atau menyebar cari jalan yang benar, mungkin nyasar massal itu nggak akan terjadi.

Hal-hal seperti itu juga banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat. Orang-orang cenderung takut berbeda dari kebanyakan orang. Takut jadi bahan omongan orang, akhirnya memaksakan diri diluar kemampuan.

Misalnya nih, yang sering kejadian saat menjelang hari raya tiba. Di masyarakat sekitarku kalau yang namanya hari raya itu makanan, minuman, kue-kue kecil dan besar harus ada di rumah.  Yang namanya meja tamu itu tidak pernah lega. Selalu penuh oleh beraneka ragam kue dari jenis kerupuk sampai aneka kue mentega dan minuman dari sirop sampai aneka soft drink. Malah kadang sampai nambah-nambah meja. Stok di dapur atau di kulkas juga tersedia full. Belum lagi makanan beratnya. Dari ketupat dengan rendang atau aneka soto, bakso, tekwan, bakmi dan pempek.

Biaya tinggi? Iya donk pasti. Kalau yang keadaan finansialnya bagus sih tidak masalah. Bagus. Bisa berbagi pada sesama di hari raya. Nah kalau yang ekonominya lemah? Kan keteteran juga tuh. Mau menghidangkan kue seadanya, malu. Nanti apa kata tetangga... Kelihatan betul miskinnya. Atau, ini setahun sekali, apa salahnya. Atau, semua tetangga begitu masa kita enggak sih.

Sebentar, setahun sekali? Eits, Idul fitri memang setahun sekali, tapi hari raya di tempatku ini lebih dari satu kali loh. Selain Hari Raya Idul fitri dan Idul Adha, disini juga ada hari raya lain yang dirayakan besar-besaran seperti dua hari raya itu. Yaitu saat menjelang masuk bulan Ramadhan dan saat Maulid Nabi. 
Walau tidak semua kampung melakukan tradisi ini.

Selain menyediakan kue-kue, makanan dan minuman di rumah, masyarakat setempat juga mengadakan acara makan bersama di masjid bagi kaum lelakinya. Para ibu akan menyiapkan makanan di dalam dulang yang akan dibawa para bapak ke masjid. Acara ini disebut Nganggung. Sampai di masjid makanan masing-masing dihidangkan dan dimakan bersama setelah berdoa.

Karena isi masing-masing dulang akan terlihat oleh yang lain biasanya disini juga jadi ajang pamer. Ada kebanggaan tersendiri kalau isi dulangnya disukai banyak orang. Hal ini bisa jadi bahan rumpian di sungai saat mandi dan mencuci pakaian bersama. Mulailah si Ibu akan mengomeli si Bapak karena tidak memberi uang cukup untuk membeli makanan mewah pengisi dulang.

Hal-hal seperti itu berulang setiap kali hari raya tiba. Pengeluaran biaya overlimit. Selesai perayaan kepala pusing karena hutang bertumpuk. Tukang arisan datang silih berganti setiap harinya. Belum lagi tagihan dari pegadaian. Apalagi kalau sampai ada barang-barang yang terjual. Hadeeh..cape deeh. Dan itu karena apa, karena tidak berani tampil berbeda dari orang banyak.

Kenapa tidak berani hanya menyediakan setumpuk bunga segar yang dipetik dengan cinta di meja tamu. Setangkup jemari yang tulus ikhlas saling memaafkan dan kehangatan obrolan di ruang tamu menyambut sanak keluarga dan handai taulan yang datang berkunjung. Dan waktu. Ya, menyediakan waktu untuk menumbuhkan rasa perduli yang mengikat simpul silaturahmi itu sendiri.

Lah, tamunya emang mau dikasih makan kembang? Dikira mahluk astral kali yee. Hmmm... Bukannya setiap rumah sudah menyediakan makanan? Mereka sendiri di rumahnya juga sudah banyak makanan. 
Lagi pula mereka datang bukan semata buat makan toh. Kadang datang juga sebentar saja. Kalaupun mau memuliakan tamu kan tidak selalu harus dengan makan minum yang berlebihan. Dengan keakraban dan ketulusan juga sudah memuliakan namanya.

Kadang sering kita datang bertamu saat lebaran, tuan rumahnya sibuk menyiapkan makanan, sampai lupa bertukar kabar, berbagi kisah dan kepedulian, malah bahkan sampai lupa tersenyum. Jabat tangan hanya sekedar saja. Tersenyum hanya asal tarik bibir sedikit.

Kalau jadi omongan tetangga? Kasih senyum ajah.

Duh..duh..duuh..ini sudah keluar tema ya? hiks

Contohnya kepanjangan :D Padahal masih banyak contoh lain yang belum dibahas.
Tapi intinya ya itu lah. Jangan takut berbeda dari orang banyak. Selagi kita yakin perbedaan itu benar. Menjadi berbeda bukan lah dosa.
#kangenlebaran
#amimustafa

4 Komentar

  1. Kalau ngomongin lintas alam kan bentar lagi mau agustusan kang, tapi kalau disaya mah kang gak akan nyasar karena terbilang dekat jaraknya juga mungkin 1 km satu kilo pun keliling kang tapi tetap seru lo, dan yang paling serunya lagi saya yang jadi penjaga posnya kan ada banyak pos saya kebagi disalah satu pos tersebut, kalau jaga di post serunya tuh disini ahi hi hi (bisa ngerjain orang).

    BalasHapus
  2. Nah itu hebatnya di negeri ini, yang ingin tampil beda atau tampilannya beda akan tersisihkan dari pergaulan. Dianggap bukan level atau sederajat dengan mereka. Berapa banyak orang harus berhutang demi merayakan idul fitri ? Entahlah !

    BalasHapus
  3. Saya tidak sepenuhnya setuju sih, apalagi unuk persoalan agama, atau keyakinan, menurut saya, orang awam seperti saya lebih baik mengikuti pendapat mayoritas ulama saja. namun sambil lalu mempelajari landasannya. untuk yang lain, boleh lah.. makasih bisa berdiskusi nih

    BalasHapus
  4. saya masih cetek tentang ginian kang, nyimak dulu deh :)

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama