Cheng Beng, Refleksi bakti terhadap leluhur

Bau asap hio tercium menyeruak di pagi buta. Rupanya warga Tionghoa sudah mulai melakukan ritual sembahyang kubur atau Cheng Beng atau Chin Min dalam bahasa Bangka. Ya karena hari ini adalah hari puncak pelaksanaan ritual Chin Min. Walau sudah bisa dimulai sepuluh hari sebelum hari ini dan boleh dilaksanakan sepuluh hari sesudah hari ini tapi masyarakat Tionghoa kebanyakan lebih suka melakukannya hari ini 04 April.

Seperti yang telah diketahui masyarakat Tionghoa di Bangka Belitung termasuk mayoritas jadi yang namanya perayaan-perayaan keagamaan adat dan tradisi mereka begitu terasa kental disini. Salah satunya perayaan Cheng Beng atau Chin Min ini. Perayaan ini adalah ritual tanda bakti terhadap orang tua atau leluhur. Dimana pada hari Chin Min seorang anak akan menyempatkan diri mengunjungi makam orangtua dan melakukan sembahyang. Acara ini juga merupakan ajang silaturahmi antar keluarga. Sebisa mungkin mereka tidak akan melewatkan kesempatan untuk datang menyembahyangi makam leluhur. Jadi bisa dipastikan saat perayaan Chin Min tiket pesawat menuju Bangka Belitung mengalami kenaikan yang lumayan tinggi. Demikian juga tingkat hunian hotel.

Pemakaman Tionghoa yang terkenal di Pangkalpinang adalah pemakaman Sentosa yang terletak di belakang RSU Depati Hamzah, jalan Soekarno -Hatta Pangkalpinang, tidak jauh dari Bandara Depati Amir. Setiap perayaan Chin Min disana pasti ramai. Bukan cuma dikunjungi oleh mereka yang mau sembahyang tapi juga orang - orang yang memanfaatkan even ini untuk menjual jasa membersihkan makam. Bayangkan seorang pembersih makam bisa meraup penghasilan sampai belasan juta rupiah tergantung berapa banyak makam yang dia bersihkan dan jenis pekerjaannya seperti menyapu, mengecat, menaikkan tanah kubur sampai mencuci bersih makamnya.

Agak berbeda suasananya dengan pemakaman Sentosa Pangkalpinang, pemakaman Hu Cu Se di Koba, Bangka Tengah terbilang sepi. Karena memang pemakaman ini termasuk baru dan tidak terlalu banyak makamnya. Pagi ini aku berjalan mengitari pemakaman dan sempat singgah sebentar karena melihat beberapa teman di klub lari ku sedang duduk-duduk mengobrol sambil menyiapkan pernak pernik sembahyang seperti melipat uang kertas dan merangkainya. Beberapa mereka baru tiba dari Jakarta dan sengaja pulang untuk sembahyang kubur. 

Beberapa tahun lalu aku pernah juga datang kesini sebagai pelayat saat orang tua teman-teman ku ini dimakamkan. Ku lihat dialtar yang bertuliskan nama Thjin Chauw Sun terdapat penuh aneka sesaji seperti buah-buahan, tiga jenis air biasanya air putih, arak dan teh, tiga jenis daging. Ada juga pernak-pernik seperti uang-uangan kertas, pakaian, mobil-mobilan, replika rumah lengkap dengan sertifikatnya dan lain lain yang setelah sembahyang selesai akan dibakar. Dalam kepercayaan mereka itu semua untuk menandakan bakti bahwa mereka ingin orangtuanya dialam sana selalu berkecukupan. Sebagai teman dengan agama yang berbeda aku cuma tersenyum. Kami saling menghargai saja satu sama lain.

Matahari semakin tinggi dan panasnya mulai terasa. Pemakaman Hu Cu Se semakin sepi tapi masih terlihat asap mengepul bekas pembakaran pernak pernik sembahyang. Asap Hio masih terus meliuk mengangkasa seolah mengantar para arwah terbang tinggi menuju tempat peristirahatan. Meninggalkan sanak saudara yang datang berkunjung.
Tiba-tiba jadi teringat orangtua ku sendiri yang keduanya sudah almarhum. Kalau mengingat jasa-jasa mereka rasanya tak cukup hanya doa doa pendek setelah sholat dipanjatkan. Tapi ibu ku sudah berpesan..kalau sayang ibu, cukup bagi mu jangan pernah tinggalkan sholat. Karena Shalat mu akan menjaga mu.

( Ami Mustafa Koba 2016/04/04)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama