RAMADHAN BIRU


Umurku sudah 8 tahun, tapi masih saja aku belum bisa berpuasa penuh. Ada saja yang membuatku akhirnya memutuskan untuk membatalkan puasaku. Biasanya setiap jam 9 ada tukang kue yang menawarkan kue-kue untuk berbuka puasa. Nah, aku suka ngotot beli dengan janji akan bersabar menunggu saat berbuka puasa untuk memakannya.

Tapi janji tinggal janji, baru satu jam kue itu nangkring cantik di lemari aku sudah tergoda bujuk rayu manisnya gula merah kue lupis nan mempesona itu. Dengan rengekan dan rayuan mautku ibu tak kan tahan lalu membiarkan ku memakannya.

Kadang karena terlalu banyak bermain aku jadi kehausan. Lagi-lagi aku mengeluh pada ibu kalau aku kekurangan cairan dan butuh minum. Tentu saja ibu khawatir dan mengijinkanku untuk tidak berpuasa. Karena sejak kecil aku sakit-sakitan mungkin ibu jadi lemah terhadapku.

Tapi meski begitu ibu tetap tegas saat menerapkan aturan saat berbuka puasa tiba : 'yang tidak berpuasa hanya boleh makan setelah yang berpuasa selesai makan'. Waduh...adil sih tapi kok ya rasanya ngenes gitu. Serasa jadi anak tiri. Sampai-sampai aku berjanji dalam hati tidak akan menerapkan aturan ini kalau aku sudah menjadi ibu kelak.

Aku masih tidak bisa berpuasa sebulan penuh sampai usia belasan. Bahkan saat SMA aku pernah jalan-jalan sendiri ke kota tetangga lalu makan minum dengan tenangnya. Saat di rumah tanpa rasa bersalah ikut hadir di ruang makan dan makan bersama dengan yang berpuasa. Kecuali ada yang tanya apakah aku puasa atau tidak aku tak akan bercerita kalau aku seharian tadi tidak berpuasa. Hihi..badung ya aku.

Itu masa lalu.

Usianya baru 5 tahun. Tapi dia sudah sanggup berpuasa sehari penuh. Dari mulai makan sahur dijalaninya dengan penuh semangat. Dia rela dibangunkan  dari tidur lelapnya untuk makan sahur di pagi buta. Siang harinya juga mulus tanpa rengekan minta pembatalan puasa. Bahkan saat adzan Dzuhur tiba dia disuruh makan saja, puasa setengah hari saja dia tidak mau. Wih...kok keren amat ini si piyik. Alhamdulillah, beda denganku dulu. Lebih keren lagi itu dia lakukan selama sebulan penuh.


Padahal aku tidak pernah mengiming-imingi hadiah atau apalah sebagai reward kalau dia berpuasa penuh selama bulan Ramadhan. Tapi dia melakukannya dengan penuh suka cita. Mungkin karena di sekolah TK nya dia sudah mendapat banyak cerita tentang puasa Ramadhan dari gurunya. Sampai aku jadi tidak tega melihat perutnya tipis, wajahnya tirus dan tulang bahunya terlihat menonjol. Hanya senyumnya yang sumringah dan penuh keihklasan yang membuatku akhirnya membiarkan dia belajar menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadhan.

Ramadhan kali ini dia tidak bersamaku. Dia ikut Bapak berlibur ke kampung halaman. Sejak lahir dia tak pernah terpisah jauh dariku untuk waktu yang lama. Tentu akan sangat berat buatnya. Sama denganku. Kepergiannya seolah mencerabut separuh nafasku.

Berpuasa tahun ini akan sangat berat bagi kami. Tapi ini adalah bagian yang harus kami lalui. Warna lain dalam kehidupan kami yang akan menambah indahnya kisah hidup. Berpisah akan menambah tumpukan rindu dan menyadari bahwa selama ini kami beruntung bisa selalu bersama. Kebersamaan yang luar biasa dan harus disyukuri.

Kita akan saling merasa kehilangan. Aku akan merindu mencubit pipimu yang gembil. Rindu mencium bibir mungilmu. Rindu rengekanmu untuk membeli semua kue yang dijajakan di pujasera setiap senja. Rindu melihatmu makan dengan lahap menghadapi meja kecil kita yang penuh makanan kesukaan yang sudah kau pilih sejak sore. Rindu memeluk tubuh gempalmu dengan kulit yang kecoklatan karena katamu kau pramuka sejati yang tidak takut terbakar matahari.

Semoga hari-harimu selalu indah disana, nak. Ibu akan memelukmu dengan doa-doa.
#amimustafa

4 Komentar

  1. Semoga ramadan biru semakin sahdu walaupun tanpa orang-orang yang dikasihi berada dekat kita, tetap khusyuk dalam beribadah ya mang...

    BalasHapus
  2. Jadi teringat masa kecil puasa cuma bisa setengah hari tapi lama lama bisa full

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama